Pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan merupakan proses pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju ke arah keluhuran hidup kemanusiaan. Membebaskan menurut KBBI adalah melepaskan dr (ikatan, tuntutan, tekanan, hukuman, kekuasaan, dsb). Jadi, Pendidikan yang membebaskan adalah suatu proses pengubahan sikap dan tingkah laku dalam usaha mendewaskan manusia melalui kegiatan yang mendidik tanpa di sertai tekanan dan berada di bawah kekuasaan individu ataupun kelompok.
Pada dasarnya tujuan pendidikan secara umum selain menciptakan manusia yang berkualitas juga berfungsi untuk memerangi kebodohan dan kemiskinan. Sebab, rendahnya kualitas suatu bangsa kerap kali identik dengan rendahnya kualitas pendidikan bangsa tersebut (kebodohan). Di Indonesia, kegagalan kita dalam bidang ekonomi-sosial adalah buah di antara kegagalan kita dalam memacu mutu dan kualitas pendidikan. Pendidikan yang seharusnya menjadi akses bagi kaum miskin untuk memperbaiki kualitas diri dengan memiliki investasi social berupa keterampilan pekerjaan sehingga mereka terbebas dari jeratan jurang kemiskinan. Namun sayangnya, pendidikan bagi mereka masih merupakan barang mahal yang tak mampu di raih, sehingga banyak diantara mereka yang memiliki kualitas pendidikan yang rendah. Meski Pemerintah telah mengucurkan triliunan rupiah melalui dana BOS, namun masih banyak diantara mereka yang lebih memilih bekerja dibandingkan pergi sekolah dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Persoalannya kemudian semakin diperparah ketika Indonesia, hanya mengakui ”sekolah” sebagai satu-satunya lembaga untuk ”memproduksi” masyarakat terdidik. Artinya, skala intelektualitas, skill dan kualitas bangsa ini, harus keluar dari satu ”pabrik” formal yang legalitasnya hanya diakui pemerintah, yaitu sekolah. Sistem yang membatasi dan hanya mengakui persekolahan formal sebagai satu-satunya sistem pendidikan yang diakui, adalah sebuah pembodohan terhadap masyarakat. Pendidikan semacam ini, membatasi dan mengikat dirinya pada sistem yang dikurung oleh empat dinding sebuah ruangan kelas adalah penjajahan terhadap kemerdekaan setiap individu untuk dapat belajar dan mencerdaskan dirinya secara merdeka. Anak-anak yang tidak keluar dari sebuah ”pabrik” yang disebut sekolah, secara sistemik akan teralienasi terhadap berbagai perangkat negara dan masyarakat yang diakui secara formal. Tanpa Ijazah TK, seorang anak takkan bisa mengecap bangku SD, padahal kemampuan dan bakatnya barangkali sama saja atau bisa lebih baik dari anak-anak TK secara umum karena ia dibimbing secara pribadi oleh orangtuanya di rumah. Seorang guru tak bisa mengembangkan kualifikasinya secara maksimal sepanjang ia tidak memiliki cukup piagam, surat penghargaan ataupun bukti-bukti formal untuk syarat akreditasnya. Sistem telah memenjarakan pendidikan kita pada ijazah dan persoalan legal formal yang korespondensinya dengan skill dan kemampuan pribadi tak bisa dipertanggungjawabkan secara utuh.
Ditambah lagi sistem persekolahan yang membebankan murid dengan target kurikulum yang diolah oleh ”kaum atas”, tanpa memberikan kesempatan dan ruang bagi anak didik untuk dapat mengembangkan bakat dan kreatifitasnya secara maksimal, sesungguhnya adalah sebuah penjajahan terhadap kesadaran manusia dengan mengarahkan mereka pada tujuan-tujuan yang telah diarahkan oleh sekolah. Sekolah yang bekerja untuk mengejar target kurikulum, berorientasi terhadap raport dan mendasarkan standar keberhasilan dari kuantitas nilai yang terukur merupakan sebuah sistem yang mengajarkan anak untuk hanya menjadi pribadi-pribadi ”pengikut” dan tunduk terhadap sistem, bukan pribadi ”idealis dan kreatif” yang secara merdeka memiliki tanggungjawab mampu membangun dan membuka kesempatan bagi sendiri maupun orang lain. Sekolah selayaknya harus mampu menjadi lapangan dimana anak-anak bisa menari bebas dan bergembira dengan setiap potensi dan keinginan mereka untuk dikembangkan secara maksimal.. Bukan penjara dengan setumpuk buku yang harus dihapal dan target kurikulum yang mengikat mereka sehingga tak mampu bernafas secara merdeka.
Sumber :
http://artikeligi.blogspot.com/2010/05/pendidikan-yang-membebaskan.html
http://www.kompasiana.com/erwinalwazir/pendidikan-yang-membebaskan_5529fbcff17e611d3fd62474